Apa
aku salah telah menerima ajakannya untuk menjadi pacarnya? Iya, dia. Dia yang
kini memiliki hubungan khusus denganku. Dia yang kini berstatus sebagai
pacarku. Tidak perlu mendeskripsikan banyak kata untuk dia. Hanya satu kata
yang aku gambarkan untuk pacarku ini, “datar”. Dia sangatlah datar, cuek, dan
tidak banyak kata yang terlontar dar mulutnya. Sampai sebelumnya aku hanya
berpikir bahwa dia hanya menjaga image saja padaku. Tapi ternyata itu memanglah
sifat aslinya. Terkadang aku sering kali berpikir; bagaimana bisa seorang gadis
supel yang periang seperti aku ini bisa berpacaran dengan seorang sosok yang
super duper datar seperti dia? Ya, inilah cinta. Entah pada siapa, entah kapan,
entah bagaimana caranya, cinta datang dan pergi secara sendirinya.
Dua
perbedaan yang kini telah disatukan oleh cinta. Apakah kami mampu bertahan
lama? Apakah cinta mampu membuat hubungan kami lama? Apakah ini semua ulah
cinta? Terkadang sering sekali aku berpikir; mengapa Tuhan harus menciptakan
dan memberikan cinta pada makhluknya? Tapi itu hanya sekedar pikiran bodohku
yang terkadang terlintas. Kita harus yakin pada satu pendirian; Tuhan sudah
memasangkan seorang pria dengan seorang wanita yang terbaik dari milyaran
manusia lainnya, dan Tuhan memasangkannya agar satu sama lain bisa saling
melengkapi. Dan apapun yang Tuhan berikan, itu pasti adalah yang terbaik. Dan
jika Tuhan mengambil atau memutuskan suatu hubungan, berarti Tuhanb telah
menyiapkan sesuatu yang jauh lebih baik lagi.
Dia
memang orang yang tidak banyak melontarkan kata dari mulutnya. Dia lebih banyak
mengungkapkan kata-kata dari bola matanya yang bewarna hitam pekat itu.
Jangankan saat kami bertemu langsung, dalam perbincangan lewat sosial media
pun, dia hanya berkata seperlunya. Bahkan seringkali kami jarang memberi kabar.
Awalnya aku sungguh tak terbiasa dengan sifatnya itu. Tapi lama-kelamaan aku
sadar, aku harus menerima sifat ‘jutek’nya itu. Aku tidak boleh egois pada
diriku sendiri. Tapi apa harus selalu aku yang mengerti akan kondisinya? Apakah
aku tidak memiliki hak untuk dimengerti olehnya? Mungkin pertanyaan bodoh, bila
aku menanyakan hal ini padanya.
Terkadang
otakku berbicara; sampai kapan aku harus begini? Apa aku harus mempertahankan
hubungan ini? Tapi seringkali hati menjawab; kalau memang sayang harus
bagaimana? Logika dan hati saring berbenturan. Aku tidak bisa kalau terus
menerus begin. Tapi entah kenapa rasa ini tak bisa hilang sedikitpun.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar