Rabu, 04 Maret 2015

Sedatar Air Danau

Apa aku salah telah menerima ajakannya untuk menjadi pacarnya? Iya, dia. Dia yang kini memiliki hubungan khusus denganku. Dia yang kini berstatus sebagai pacarku. Tidak perlu mendeskripsikan banyak kata untuk dia. Hanya satu kata yang aku gambarkan untuk pacarku ini, “datar”. Dia sangatlah datar, cuek, dan tidak banyak kata yang terlontar dar mulutnya. Sampai sebelumnya aku hanya berpikir bahwa dia hanya menjaga image saja padaku. Tapi ternyata itu memanglah sifat aslinya. Terkadang aku sering kali berpikir; bagaimana bisa seorang gadis supel yang periang seperti aku ini bisa berpacaran dengan seorang sosok yang super duper datar seperti dia? Ya, inilah cinta. Entah pada siapa, entah kapan, entah bagaimana caranya, cinta datang dan pergi secara sendirinya.
Dua perbedaan yang kini telah disatukan oleh cinta. Apakah kami mampu bertahan lama? Apakah cinta mampu membuat hubungan kami lama? Apakah ini semua ulah cinta? Terkadang sering sekali aku berpikir; mengapa Tuhan harus menciptakan dan memberikan cinta pada makhluknya? Tapi itu hanya sekedar pikiran bodohku yang terkadang terlintas. Kita harus yakin pada satu pendirian; Tuhan sudah memasangkan seorang pria dengan seorang wanita yang terbaik dari milyaran manusia lainnya, dan Tuhan memasangkannya agar satu sama lain bisa saling melengkapi. Dan apapun yang Tuhan berikan, itu pasti adalah yang terbaik. Dan jika Tuhan mengambil atau memutuskan suatu hubungan, berarti Tuhanb telah menyiapkan sesuatu yang jauh lebih baik lagi.
Dia memang orang yang tidak banyak melontarkan kata dari mulutnya. Dia lebih banyak mengungkapkan kata-kata dari bola matanya yang bewarna hitam pekat itu. Jangankan saat kami bertemu langsung, dalam perbincangan lewat sosial media pun, dia hanya berkata seperlunya. Bahkan seringkali kami jarang memberi kabar. Awalnya aku sungguh tak terbiasa dengan sifatnya itu. Tapi lama-kelamaan aku sadar, aku harus menerima sifat ‘jutek’nya itu. Aku tidak boleh egois pada diriku sendiri. Tapi apa harus selalu aku yang mengerti akan kondisinya? Apakah aku tidak memiliki hak untuk dimengerti olehnya? Mungkin pertanyaan bodoh, bila aku menanyakan hal ini padanya.

Terkadang otakku berbicara; sampai kapan aku harus begini? Apa aku harus mempertahankan hubungan ini? Tapi seringkali hati menjawab; kalau memang sayang harus bagaimana? Logika dan hati saring berbenturan. Aku tidak bisa kalau terus menerus begin. Tapi entah kenapa rasa ini tak bisa hilang sedikitpun. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar