Rabu, 02 April 2014

Impian yang Nyata


Kupenjamkan mataku selama beberapa menit, berdoa agar Tuhan mendengar doaku, dan juga tak lupa untuk mengabulkannya. Berdoa agar aku diberi kekuatan ‘lagi’. Menjadi seperti remaja normal layaknya orang-orang disekelilingku itu sulit. Aku lebih pendiam dan jarang bicara. Entah kenapa rasanya jantungku ingin meledak saat aku mendengar obrolan mereka yang menurutku sangat rumit. Yang dominan menjurus ke masalah percintaan mereka, kehidupan royal mereka, hobi mereka, pengalaman mereka, dan masih banyak hal lain lagi. Bahkan aku berani sumpah, mungkin hanya disekolah mereka memikirkan pelajaran, tapi diluar tidak.
Dan entah kenapa, akhir-akhir ini aku berubah drastis. Sekarang aku punya hobi baru; menguping pembicaraan rumit mereka, seperti obrolan mereka tentang pacarnya masing-masing, kegiatan mereka saat ke mall kemarin, dan sebagainya. Aku pikir aku harus menjadi seperti mereka, agar aku normal. Agar aku bisa menjalani hidup santai seperti mereka, meninggalkan buku-buku novel dan pelajaran tebal yang dahulu sempat menjadi sahabatku. Aku rasa aku harus mencontek gaya hidup mereka. Meski dari penglihatan secara fisik, sepintas kami semua sama; aku dan mereka sama! Meski sesungguhnya mental kami jauh berbeda.
Kini aku mulai menerapkan gaya hidup mereka ke kehidupanku. Dari mulai tidak terlalu fokus ke pelajaran, meninggalkan buku dan novel tebalku, mengubah gaya rambut kepangan, sampai akhirnya aku memutuskan melepas kacamata dan beralih ke softlens. Semua itu aku mulai dari hari Senin kemarin, saat aku berjalan memasuki kelas, seisi kelas menatapkan mata mereka keujung rambut hingga sepatuku, aku tahu mungkin ini gila, tapi inilah caraku agar bisa menjadi normal, dan agar ‘mereka berhenti melontarkan ejekannya padaku’.
Kini mereka mulai berhenti meledekku. Dan mulai mendekatiku, mulai mengajakku mengobrol dan mengikutsertakan aku ke dalam obrolan mereka yang sebelumnya aku hanya bisa ‘menguping’ mereka saja, kini aku  bisa secara langsung ikut serta ke dalam obrolan itu. Gaya bahasaku yang ‘baku’ lama-lama mulai berubah ke bahasa ‘gaul’ layaknya remaja lainnya. Kini aku tahu bagaimana rasanya jalan-jalan ke mall sepulang sekolah, rasanya disapa orang-orang yang sebelumnya aku tak mengenalnya sama sekali saat bertemu dimana saja, rasanya membalas dan saling bercakapan lewat pesan singkat atau jejaring sosial, rasanya bercakapan sebelum tidur dimalam hari, aku rasa aku suka kehidupanku yang baru ini dan aku rasa aku mulai merasa ‘nyaman’.
Sampai ke hal yang tidak pernah aku rasakan sebelumnya, meski aku sering mendengar dan mengetahuinya sebelumnya lewat film atau novel; rasanya dicintai dan dikagumi oleh lawan jenis. Bergabung dengan anak-anak yang cukup popular, membuat orang-orang menjadi kenal padaku, bahkan sebagian menjadi akrab. Dan banyak juga siswa laki-laki yang mendekatiku. Sebelumnya aku tidak pernah merasakan ini. aku berfikir mungkin ini adalah rasa jatuh cinta yang sering aku dengar, atau lebih tepatnya yang sering teman-teman atau remaja lainnya bicarakan.
Banyak siswa pria yang menyatakan rasa mereka padaku. Dari mulai yang berparaskan tampan atau standar, berkulit putih, coklat, atau hitam, bertubuh tinggi atau pendek; yang pasti tak satupun dari mereka yang aku balas rasanya. Karena aku sadar aku tidak tahu rasanya bagaimana jatuh cinta. Aku harus berlajar terlebih dahulu!
Hingga akhirnya, setelah teman-teman ‘baruku’ menjelasakan semuanya, kini aku mengerti apa itu pacar. Apa itu jatuh cinta. Apa itu rasa bahagia atau kecewa. Dan kini aku merasakannya! Dengan seorang siswa laki-laki yang lebih tua satu angkatan dariku. Anggota ekskul futsal disekolah. Menurutku, wajahnya lucu, manis. Badannya tinggi sekali, hingga aku hanya sepundaknya saja. Senyumnya manis, suaranya besar. Tapi apakah dia bisa tahu kalau aku menyimpan rasa padanya? Apakah dia tahu bahwa dia adalah cinta pertamaku? Apakah dia bisa menyimpan rasa yang sama padaku? Banyak orang bilang aku manis. Tapi entah itu hanya sekedar pujian atau memang benar. Mungkin, bila tubuhku didefinisikan seperti ini; wanita berkulit putih seperti orang Cina, matanya agak sipit dengan dua bola mata hitam mengkilat, berambut  yang lurus hitam tebal sepunggung, dan bertinggi badan 160cm.
Apakah aku termasuk ke dalam kriteria wanita idamannya? Dia lebih tua dariku, dan aku ingin dia membalasa perasaanku. Keajaiban Tuhan kini datang. Suatu hari aku mengantar temanku menunggu pacarnya latihan futsal, dengan senang hati aku menemaninya. Karena aku tahu aku bisa melihat Dia juga latihan. 30menit sudah mataku tidak berpaling sedikitpun darinya. Melihatnya latihan dengan semangat. Senang rasanya, bisa melihatnya latihan dengan semangat, hingga waktunya istirahat latihan. Aku sendirian terdiam dibangku taman, menyibukkan diriku dengan gadget, kareka aku tahu temanku sedang asyik berduaan dengan pacarnya dibangku taman sebelahku. Dan disinilah keajaiban muncul. Temanku meminta tissue padaku, katanya untuk salah satu pemain futsal yang cedera. Aku meraih tissue dari dalam tas. Dan temanku menyuruhku untuk memberikannya pada pemain yang cedera itu. Mulutku terngangap saat melihat ternyata pemain yang cedera itu Dia!
Tangaku gemetar saat memberikan tissue pada Dia. Akhirnya kami mengobrol, slaing tertawa dan seakan kami telah kenal cukup lama. Hanya butuh beberapa menit untuk bisa akrab dengannya. Dengan imbalan aku diantarnya pulang. Semuanya terus berlanjut. Kami saling mengirim pesan singkat lewat ‘BBM’. Bahkan Dia sering mengantarku pulang dengan motor kuplingnya yang suara knalpotnya membuat kupingku sakit. Tapi tetap saja aku senang. Hingga pada tanggal 7 bulan kedua awal tahun, dia menyatakan rasanya padaku, menawarkan diriku menjadi pacarnya. Bukan main aku menjerit membaca kata-katanya itu. Dan akhirnya semenjak itu kami berpacaran.
Perubahan drastis yang aku lakuakn pada tubuh dan mentalku membuat suatu yang istimewa. Tapi tidak merubah sifatku yang akan tetap menjadi aku. Perubahan drastis padaku, tapi sedikitpun tidak membawa dampak negatif. Aku kini normal, layaknya remaja lain. Hidup santai, tapi tetap menjadi murid terpintar dikelas. Memiliki pacar yang normal layaknya orang lain. Hidup tanpa ejekan dan olok-olokan seperti dulu. Semuanya berubah. Bagaikan sihir yang siayunkan oleh tongkat sihir. Tapi ini smeua berkat usahaku. Aku yakin ini memang akan terjadi.

Cinta Pertamaku


Dilahirkan sebagai perempuan berdarah Belanda dan Jawa adalah suatu keunikan tersendiri bagiku. Namaku sendiri, Alicia Mekar Lucia, pemerian campuran Ayah dan Ibuku. Nama Mekar itu pemberian almarhumah Bundaku, yang keturunan orang keraton Yogyakarta. Sedangkan Alicia Lucia dari Ayahku, yang keturunan Belanda. Maka tak heran, aku memiliki kulit putih pucat dan mata coklat turunan Ayah, tapi rambutku hitam tebal dari Bunda. Kini aku dan Ayah tinggal di kota Kembang, Bandung. Di umurku yang sudah menginjak masa remaja ini, yang baru saja akan duduk dibangku kelas 1 SMA, tapi aku sekalipun belum pernah merasakan jatuh cinta. Berbeda dengan banyak anak remaja lainnya.
Meski banyak siswi laki-laki yang menyatakan perasaannya padaku, tapi aku sama sekali tidak tertarik dengan mereka. Tapi kali ini Tuhan memberikan suatu keajaiban dalam hidupku. Aku kini merasakan untuk pertama kalinya, bagaimana rasanya hati berbunga-bunga, dan pikiran yang hanya tertuju pada satu orang saja, ya benar kini aku tahu bagaimana rasanya jatuh cinta. Meski untuk sebagian remaja seumuranku pada umumnya ini hal yang wajar, tapi menurutku ini adalah hal yang baru saja aku alami.
Siswi laki-laki satu angkatan, berbeda kelas, berambut hitam, kulitnya cukup putih, dan tubuhnya tinggi melebihi aku, dialah yang sudah mencuri perhatianku. Awalnya aku bertemu dengannya ditangga. Dia dan teman-temannya melewat didepan wajahku, menatap diriku sekilas, tapi aku tidak bisa memanglingkan mataku darinya. Namanya Radit, entah dia tinggal dimana, entah dia anak baik-baik atau tidak, entah dia sudah memiliki kekasih atau tidak, yang pasti dia adalah cinta pertamaku.
Suatu sore, aku dan teman-temanku jalan-jalan ke mall, secara kebetulan kami berpapasan dengan Radit, membuatku salah tingkah didepannya, semenjak itu kami dekat, dan berteman dengan baik. Meski sesungguhnya aku ingin hubungan kami lebih dari sekedar pertemanan, tapi, bisa berteman baik dengannya saja adalah suatu anugerah bagiku.
Radit itu laki-laki yang baik, dia ramah, sopan, serta asyik diajak bercanda, seperti layaknya yang aku fikirkan. Aku senang bisa ddekat dengannya, bisa bercanda dengannya setiap saat, bisa berpapasan dengannya setiap bertemu, bisa saling mengirim pesan singkat setiap waktu. Aku kira pertemanan kami bisa lebih dari sebuat pertemanan biasa, tapi itu mustahil, dan memang benar mustahil.
Suatu hari dibulan Oktober, aku tahu kalau Radit sudah memiliki pacar. Namanya Shilla, siswi perempuan yang kelasnya bersebelahan dengan kelasku. Dan ternyata cintaku pada Radit bertepuk sebelah tangan. Aku memang memendam rasa ini sendirian, tidak ada yang tahu. Karena aku yakin suatu saat kejadian seperti ini akan terjadi, maka lebih baik menyimpan rahasia ini sendirian.
Untuk pertama kalinya aku merasakan jatuh cinta, dan ras aitu harus bertepuk sebelah tangan, juga dibalas sakit hati. Aku ini salahku memendam rasa sendirian, Radit sudah jelas tidak salah. Tapi, aku tidak mau juga kalau berpacaran dnegan Radit, hanya karena dia kasihan kepadaku saja. Itu pasti lebih membuatku skait lagi.
Yang pasti aku hanya tidak mau hubunganku dengan Radit berubah hanya karena dia sudah punya pacar. Aku ingin  tetap bersahabat dengannya. Ingin terus bebas bisa jalan-jalan dengannya, mengobrol bebas dengannya, saling mengirim pesan singkat dengannya, tanpa dia tahu kalau dia sudah membuat rasa yang amat dalam padaku. Aku tidak mau semua ini berubah.
Melihatnya bahagia dengan wanita lain adalah suatu kebahagiaan tersendiri bagiku. Meski sebenarnya sakit, aku harus turut bahagia melihatnya bahagia, meski bnukan dengannku. Aku tahu Tuhan akan memberiku pendamping yang baik, meski kalau itu bukan Radit sekalipun aku ikhlas. Biar kusimpan rasa ini sendirian tanpa harus diketahui oleh orang lain.